A Copy Of My Mind

Tidak banyak film Indonesia yang berkesan bagi saya. Tapi tidak mungkin kalau tidak ada sama sekali. Marilah saya sebutkan beberapa. Petualangan Sherina yang ngehits banget itu. Liat Sherina cium keningnya Derby Romero aja adek saya tutup mata. Lalu Belahan Jiwa. Film yang buat saya seneng banget ama yang namanya multiple personality disorder. Ada lagi Quickie Express yang walaupun saya telat nonton, tapi ngakak parah. Lanjut lagi Habibie Ainun yang romantis dan aktingnya Reza Rahardian parah banget (saking bagusnya). Killers yang selalu mengingatkan gw dengan ingusnya Oka Antara. Beneran deh geli banget kalo inget ama adegan ini, tapi gw suka karena Killers adalah film yang cerdas. Belakangan ini ada Ngenest, filmnya Ernest Prakasa yang menyajikan kehidupan manusia keturunan China beserta dilemanya. Kemarin saya habis nonton. Salah satu film Indonesia. Yang lagi banyak dibicarakeun. A Copy Of My Mind.

a_copy_of_my_mind

Saya sudah lama mengincar film ini. Bahkan sebelum film ini jadi ngehits kayak sekarang. Tapi saya lupa saya baca di mana. Film ini masuk festival dan ada nama Joko Anwar di sana. Sempat ada gosip kalau film ini mungkin ga bakal tayang di Indonesia. Tapi untunglah saya bisa nonton di Blitzmegaplex kemarin.

 

Pertama - tama Bahas pemeran utamanya dulu deh.

Tara Basro. Saya ga suka Tara Basro karena dia pernah jadi pacar Arifin Putra. Ini beneran lho. Saya jadi suka cemburu sama dia. Tapi harus saya akui bahwa akting dia di film ini membumi sekali. Menjiwai peran sebagai Sari, seorang tukang facial di salon kecil di sudut Jakarta yang berusaha untuk mencari peruntungan di salon yang lebih “wah”. Ternyata cewek yang mempunyai masalah dengan kleptomanianya ini terseret masuk ke konflik yang melibatkan petinggi negara dan orang – orang penting karena kebiasaannya tersebut. Singkat cerita, kesukaan Sari akan film membawanya bertemu dengan Alek.

Chicco Jericho berperan sebagai Alek di film ini. Jujur saya ya, buat saya Chicco Jericho ini the boy next door banget. Saya ga sangka ternyata peran dia sebagai Alek di film ini membuat saya terpesona. Cowok banget. HOT banget cui... Alek sendiri berprofesi sebagai translator untuk DVD bajakan yang kalo dapet film bokep dibuat fap fap fap dulu ama dia sebelum akhirnya ditranslate. Btw, Alek mentranslate bahasa di film pakai gugel trenslet lho. Dia tinggal gratisan di rumah kos – kosannya, bayarnya dengan cara mengurus bude pengurus kosnya.



OK, sekarang ceritanya. Mengulang tulisan di atas.

Sari, perantau yang bekerja sebagai seorang tukang facial di salon yang mempunyai hobby nonton DVD bajakan (sambil makan Indomie) dan mempunyai mimpi memiliki home theater pribadi. Sebuah DVD bajakan dengan subtitle buruk mempertemukannya dengan Alek yang berprofesi sebagai translator DVD bajakan. Siapa sangka walau pertemuan awalnya kurang OK, tapi Sari dan Alek malah menemukan chemistry satu sama lain. Dari DVD (bajakan pula) berlanjut ke obrolan berlanjut ke ranjang.

http://images.cnnindonesia.com/visual/2015/10/02/072f7dda-dbff-4e00-835a-47675f0416e9_169.jpg?w=650

Seandainya bisa memutar waktu, Sari pasti akan memilih untuk tidak mencuri DVD dari salah satu kliennya. Karena dia tidak pernah menyangka bahwa salah satu DVD yang dicurinya itu ternyata melibatkan korupsi salah satu petinggi negara. DVD itulah yang akhirnya membawa kerumitan dalam hidup Sari dan Alek.



Paruh waktu pertama kita akan dibawa untuk menyusuri hidup Sari dan Alek. Menyusuri kisah cinta mereka dengan kepingan DVD sebagai saksi (dan penonton juga pastinya). Kisah cinta mereka bukan kisah cinta gedongan. Kisah cinta mereka hanya bersetting di kamar kos. Entah ada kipas angin atau tidak. Peluh di mana – mana. Tidak pakai AC. Background music adegan ranjangnya pun hanya musik dangdut yang diputar entah tetangga sebelah mana. Tapi hal itulah yang membuat cerita ini lebih believeable. Realistis. Dekat dengan penontonnya. Karena dalam kenyataan, tidak mungkin ketika seseorang sedang bercinta, mendadak terdengar background music yang dipasang entah dari mana kecuali kalo tembok Anda tidak kedap suara dan pas tetangga Anda lagi mutar lagu. Kalau begitu sebaiknya Anda berhati – hati bisa jadi tetanggan Anda sedang nguping suara desahan yang terdengar dari kamar Anda. Bahkan untuk adegan ciuman mereka pun, untuk hal sekecil itu, Joko Anwar membuatnya terdengar serealistis mungkin. Tanpa background music yang ternyata malah ampuh membuat saya masuk dalam karakter dan cerita film ini. Hanya terdengar suara dua orang anak manusia yang sedang bertukar cairan tubuh (eh maksudnya ludah. Ya kamu pikir – pikir ajalah suara orang lagi ciuman kayak apa.)

Paruh waktu terakhir, kita akan diajak untuk melihat kebobrokan politik. Sangat menarik melihat Joko Anwar mencurahkan pandangan politisnya di sepanjang film ini. Miris ketika melihat sel Bu Mirna. Saya jadi ingat dengan kasus seorang yang dipenjara beberapa tahun silam dan ketika ’diungkap’ isi dalam sel penjaranya, ternyata membuat orang tercengang karena serupa hotel kecil dan lengkap dengan si Ibu yang sedang difacial pula. Ini juga yang diangkat oleh Joko Anwar dengan sangat cerdas. Belum lagi masalah ’makelar proyek’ dan ungkapan ’apel’ yang digunakan dalam film ini. Sangat menggambarkan kasus – kasus yang terungkap di Indonesia kurang lebih era lima tahun belakangan saat film ini dibuat.



Itu baru pemeran dan cerita. Belum lokasi syutingnya. Ada beberapa adegan yang membuat saya tercengang karena beberapa kali saya lewat di tempat itu. Mengambil Glodok sebagai tempat syutingnya, mmbuat film ini semakin membumi untuk saya dan menancapkan taringnya di otak saya. Membawa saya menyusuri sudut - sudut jalanan Ibukota, gang – gang sempit, rumah kos – kosan, warung pinggir jalan.

Dua jempol untuk Joko Anwar. Saya bersyukur sekali film ini bisa masuk ke bioskop di Indonesia (setelah sebelumnya ada gosip kalau film ini ga bisa masuk bioskop). Walaupun bikin saya kesel juga karena ternyata 30 menit endingnya dipotong (baca di sini).



Akhir kata, film ini sangat sangat sangat romantis. Kisah cinta yang manis dan pahit dengan saksi keping – keping DVD bajakan. Saya kesal dengan kau bang Joko Anwar. Kenapa kau potong 30 menit terakhirnya. Adegan si Sari meluk Alek di endingnya itu bikin saya sedih sekali, bang. Oh, jangan lewatkan juga bias matahari yang terpancar di akhir cerita dan berhasil tertangkap oleh kamera. Karena bias matahari dan adegan pelukan itu adegan paling romantis di sepanjang film =)


salah satu bias matahari paling romantis yang pernah saya lihat


 

Comments