Surat Dari Praha - Antara Glenn Fredly, Nasionalisme, Cinta Yang Tak Pernah Lekang, dan Romantisme Praha

Membaca review Raditherapy, membuat saya berkeinginan mengikuti dia menelusuri jejak – jejak romantisme di Praha bersama Julie Estelle dan Tio Pakusadewo. Dikemas dengan apik dan diiringi musik romantis ala Glenn Fredly, kita akan menyusuri jejak cinta yang tidak lekang oleh waktu walau puluhan tahun berlalu.



Saya menyukai karakter Jaya yang diperankan oleh Tio Pakusadewo. Sebagai seorang karakter yang terbuang dari negerinya sendiri karena menolak untuk mengakui era Orde Baru, dia berperan apik sekali. Seorang sarjana nuklir yang bekerja puluhan tahun sebagai janitor, kata Jaya. Betapa menyakitkan ketika seseorang harus melepas masa depan, keluarga, bahkan cintanya demi sebuah kata yang bernama prinsip. Betapa seseorang yang walaupun menolak Orde Baru tetapi dengan tegas dia menyatakan bahwa dirinya bukan komunis.

"Saya janjikan dua hal kepada ibumu. Pertama, saya akan segera kembali. Kedua, saya akan mencintainya seumur hidup saya. Hanya janji kedua yang dapat saya penuhi." - Jaya



Julie Estele berperan cukup apik. Tidak sekuat karakter Tio, mengingat jam terbang Tio yang tidak bisa terbilang sedikit. Tetapi peran Julie sebagai Larasati cukup menyeimbangi dalam film ini. Chemistry yang terbangun cukup kuat, walaupun akhirnya rada absurd menurut saya (tentu saja tidak akan saya beberkan disini karena yang ada malah spoiler).

Getir. Puitis. Romantis. Dan Manis. Inilah yang saya rasakan di akhir film ini. Apalagi ketika melihat sekumpulan orang – orang tua yang berada di Praha. Dimana mereka yang berbincang mengenai keadaan di tahun 1965. Mereka yang tergusur dari negara yang dicintainya. Dan ketika terdengar lagu Indonesia Pusaka dinyanyikan oleh orang  - orang tua itu. Terdengar sedih. Terdengar rindu.

"Politik berubah, kekuasaan berubah, ilmu pengetahuan berubah. Hanya cinta dan musik yang tidak pernah berubah." - Jaya

Dari segi pengambilan gambar, aduh ga usah ditanya lah. Mengalun seperti musik yang enak didengarkan. Sederhana tetapi bermakna. Cantik. Kalaupun ada yang sedikit mengganggu, itu adalah product placementnya. Tetapi saya bisa mengabaikan itu. Seperti saat saya mengabaikan product placement di film Habibie Ainun. FYI, product placement di Habibie Ainun lebih mengganggu. Coba deh tonton. Kayaknya ga cocok itu product placementnya. Untuk film Surat dari Praha ini, product placementnya masih bisa dimaafkan.

Akhir kata, film ini enak untuk ditonton. Menarik untuk disimak. Terlalu sayang untuk dilewatkan.

2016-02-01-09.06.39.jpg.jpeg

Comments

  1. […] untuk ditonton. Ini adalah delapan film Indonesia yang paling saya tunggu di 2016. (Btw, karena Surat dari Praha saya sudah nonton jadi ga saya masukkan lagi ke list […]

    ReplyDelete

Post a Comment